"Tjita-tjita perdjoeangan kami untuk menegakkan kemurnian Pantjasila tidak mungkin dipatahkan hanja dengan mengubur kami dalam sumur ini. Lubang Buaya 1 Oktober 1965".
Sebaris kalimat itu menjadi pembuka film G 30 S/PKI yang diucapkan dengan suara bergetar. Kata-kata itu diambil dari sebuah kalimat yang tertulis dalam batu nisan di atas sumur Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Di sumur berdiameter 75 senti meter dan kedalaman 12 meter itulah pada 1 Oktober 1965 jenazah 6 jenderal TNI AD dan satu perwira menengah dikubur oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Gerakan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung.
Ketujuh jenazah itu sengaja dimasukkan ke dalam sumur untuk menghilangkan jejak. Namun dua hari kemudian tepatnya 3 Oktober 1965, atas laporan dari Agen Polisi Dua Sukitman TNI AD berhasil menemukan sumur tersebut.
Tapi pasukan RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan tak kuasa melakukan evakuasi. Selain hari mulai gelap, perlengkapan pun amat terbatas. Akhirnya, kata Sintong dalam buku 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando', Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto meminta bantuan Panglima KKO (Marinir) Mayjen Hartono.
Prajurit marinir yang diminta bertugas adalah Lettu Mispan. Sehari-hari dia sebetulnya bertugas di Surabaya tapi hari itu tengah di Jakarta untuk suatu urusan. Mispan mengajak dua temannya, Pembantu Letnan Satu (Peltu) Kandouw dan Peltu Sugimin.
Kala itu Kandouw adalah anggota Sipam (Sekolah Intai para Amfibi), dan Sugimin anggota pasukan Kipam (Kompi Intai para Amfibi). Oleh Letnan Niswan Sutarto, atasan Mispan, Kandouw diminta mencari teman-temannya untuk diajak ke Lubang Buaya.
"Jadi ketemu di jalan, ayo Min (Sugimin) melok (iku). Nang endi (ke mana)? Lubang buaya. Mereka nggak tahu Lubang Buaya iku opo. Cuma ketemu di jalan, saya nunjuk-nunjuk begitu saja. Ada 9 orang," tutur Kandouw saat ditemui detikcom, Selasa (19/9/2017), di kediaman Sugimin di Surabaya.
Menjelang tengah malam, Kandouw melanjutkan, terkumpul sembilan anggota KKO, satu dokter gigi, satu dokter umum, dan sopir. Pada 4 Oktober 1965 dini hari, pukul 04.00 WIB, rombongan KKO berangkat menuju Lubang Buaya tanpa tahu lokasi persisnya.
Kandouw hanya tahu bahwa Lubang Buaya ada di daerah Halim dekat Cililitan. Setelah dua jam berputar-putar di Cililitan akhirnya mereka sampai di Halim. Tapi pasukan RPKAD tak mengizinkan mereka masuk ke lokasi. Adu muut pun sempat terjadi di antara dua kelompok prajurit pasukan elit tersebut.
"Saya bertengkar mulut dengan mereka, terus dokter Sumarno itu datang. Sudah Ndow, kalau memang nggak boleh masuk, ya pulang saja kita. Wong kita mau kerja kok, mau membantu. Yo wes (ya sudah). Nggak boleh masuk ya pulang," kata Kandouw.
Sementara di lokasi Lubang Buaya, pasukan RPKAD dalam keadaan tegang. Ketegangan baru bisa diatasi tatkala Mayjen Soeharto datang. "Mana anak – anak KKO yang saya minta datang ke sini?" tanya Soeharto.
"Langsung namanya Kapten Sukendar masuk, terus laporan. Mereka KKO yang akan menolong sudah ada di depan. Suruh mereka masuk. Baru kita diperbolehkan masuk," kata Kandouw.
Menjelang tengah hari, evakuasi dimulai dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto. Satu persatu pasukan KKO dan satu prajurit RPKAD turun ke dalam sumur yang sempit itu.
Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang dengan mengenakan masker dan tabung oksigen turun ke dalam sumur. Sepuluh menit kemudian giliran Serma KKO Suparimin turun. Dia berhasil mengangkat salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.
Pukul 12.30 WIB, Prako KKO Subekti mendapat giliran berikutnya. Dua puluh menit kemudian Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah dari dalam sumur.
Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin kembali turun untuk kedua kalinya. Hingga pukul 13.30 WIB ada enam jenazah yang berhasil diangkat ke atas. Kapten Winanto turun ke dalam sumur untuk memastikan tak ada jenazah lagi di Lubang Buaya.
Dengan membawa alat penerangan, Kapten Winanto turun ke dalam sumur. Dan satu jenazah lagi ditemukan. Setelah dua jam jenazah tujuh pahlawan revolusi berhasil dievakuasi dari Lubang Buaya.
Eks anggota Marinir menceritakan mencekamnya proses evakuasi jenderal TNI yang jenazahnya dibuang ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur, saat peristiwa G30S/PKI. Kondisi sumur yang sangat gelap membuat tim tidak mengenali para korban di dalam sumur. Mereka bahkan tidak sadar jika mengikat dua jenazah menjadi satu.
"Yang paling serem kejadian (evakuasi) Pak Utoyo (Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo) dan Pak A Yani (Letjen TNI Ahmad Yani)," kata Pembantu Letnan Dua (Purn) J Kandouw kepada detikcom di kediaman Pelda (Purn) Sugimin, rekannya sesama tim evakuasi, di Jalan Ketintang Baru XII, Surabaya, Selasa (19/9/2017).
Kedua prajurit KKO (sekarang Marinir) menceritakan proses evakuasi 7 jenazah (6 jenderal dan 1 perwira pertama) di tempat pembuangan di sumur tua Lubang Buaya, yang kedalamannya 12 meter dan berdiameter 75 sentimeter.
Ketika proses evakuasi terhadap kedua jenderal, Letjen A Yani dan Brigjen Sutoyo, seorang anggota tim evakuasi turun ke dalam sumur. Tim kemudian mengikat kedua jenazah menjadi satu.
"Diikat, kebetulan katut (ikut) dua orang, kan kondisi di dalam sumur tidak kelihatan, asal saja diikat," tuturnya.
Suasana gelap di dalam sumur membuat tim tidak sadar jika mengikat jenazah Letjen TNI Ahmad Yani dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo menjadi satu. Pengangkatan jenazah keluar dari sumur berjalan lancar. Namun, saat jenazah tiba di bibir sumur, tali pengikat jenazah putus.
Kedua jenazah Pahlawan Revolusi itu pun tercebur kembali ke dalam sumur. Tim evakuasi masuk lagi ke dalam sumur dan mengikat satu per satu jenazah.
"Talinya putus karena rantas (mudah putus). Padahal sudah sampai di bibir sumur," tutur Kondouw, yang diiyakan Sugimin.
Kundouw menambahkan, ketika jenazah Letjen A Yani dievakuasi yang kedua kalinya dari sumur di Lubang Buaya, Kandouw terkejut melihat kondisi leher Panglima Angkatan Darat itu.
"Jadi, saat diangkat, langsung terkulai itu. Jadi saya kaget, terus plek . Saya terus lihat jelas, itu saya lihat. Ada bekas sayatan, tapi (leher) tidak putus," jelasnya.
Proses evakuasi seluruh korban dari dalam sumur berlangsung selama 2 jam. Korban yang diangkat dari dalam sumur adalah jenazah Letjen TNI Ahmad Yani (Panglima Angkatan Darat), Mayjen TNI R Suprapto, Mayjen TNI MT Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo dan Serta Lettu Pierre Tendean.
Ketujuh jenazah langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, untuk dilakukan visum.
Saat menjadi tim evakuasi, Sugimin berpangkat kopral KKO. Saat itu, Sugimin berdinas di Kompi Intai Para Amfibi (Kipam). Sedangkan J Kandouw berpangkat serda KKO dan menjadi pelatih di Sekolah Intai Para Amfibi.
Sebelum diterjunkan menjadi tim evakuasi perwira korban pembunuhan PKI, keduanya bertugas sebagai tim survei untuk menyelidiki Pantai Ancol dan membuat profil keadaan pantai. Profil tersebut untuk penempatan pendaratan tank.
Sumber: https://detik.com/news/berita/d-3651282/detik-detik-evakuasi-7-jenazah-pahlawan-revolusi-dari-lubang-buaya
https://detik.com/news/berita/d-3650426/cerita-eks-marinir-saat-evakuasi-korban-pki-dari-dalam-sumur
0 Response to "Begini Cerita Eks Marinir Saat Evakuasi Korban G30S/PKI dari Dalam Sumur"
Posting Komentar