Begini Kisah Lengkap Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI"
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI atau hanya Pengkhianatan G 30 S PKI
[a] adalah judul film dokudrama
propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer , diproduseri oleh G. Dwipayana , dan dibintangi Amoroso Katamsi , Umar Kayam , dan Syubah Asa. Diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp. 800 juta kala itu, film ini disponsori oleh pemerintahan Orde Baru
Soeharto. Film ini dibuat berdasarkan pada versi resmi menurut pemerintah kala itu dari peristiwa " Gerakan 30 September " atau "G30S" (peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan
Ismail Saleh, yang menggambarkan peristiwa kudeta ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara, konon untuk memulai kudeta terhadap Presiden Soekarno. Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang menghancurkan gerakan kudeta tersebut, setelah itu mendesak rakyat Indonesia untuk memperingati mereka yang tewas dan melawan segala bentuk
komunisme. Film ini juga menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno ke
Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam yang telah merencanakan "setiap langkah dengan terperinci", [1] menggambarkan sukacita dalam penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal, penggambaran yang telah dianggap menggambarkan bahwa "musuh negara adalah bukanlah manusia". [2]
Film ini adalah film dalam negeri pertama yang dirilis secara komersial dan menampilkan peristiwa 1965 tersebut.[3]
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersial maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk tujuh penghargaan di Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu, dan mencapai angka rekor penonton - meskipun dalam banyak kasus penonton diminta untuk melihat film ini, alih-alih secara sukarela.
Film ini terus digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana pemerintahan Soeharto kala itu memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu, TVRI , untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam. Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan berlebihan. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini kemudian dihapuskan sejak jatuhnya Soeharto tahun 1998. Sejak itu film ini telah menjadi kurang diminati lagi dan belum pernah lagi diputar di stasiun televisi Indonesia. Meskipun aspek artistik film ini tetap diterima dengan baik, kekeliruan sejarahnya telah menuai banyak kritik.
Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dibuat berdasarkan pada versi peristiwa kudeta yang diakui oleh pemerintah Orde Baru Soeharto, di mana kudeta Gerakan 30 September didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.[b][4] Pada awal 1960-an, PKI dan partai-partai sayap kiri lainnya mendapat dukungan dari Presiden
Soekarno , memberi mereka kekuatan politik yang besar. Pada tahun 1965 PKI telah mempunyai jutaan anggota, jumlah semakin besar ini dipengaruhi oleh adanya hiperinflasi dan kemiskinan yang meluas.[5] TNI Angkatan Darat , bagaimanapun, telah saling tidak sejalan dengan PKI, sebuah situasi yang berbalas dengan PKI.
Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965 sekelompok personel Tentara Nasional Indonesia yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September" menangkap dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat yang diduga anggota gerakan anti-revolusioner "Dewan Jenderal", termasuk Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani ; target lain, Abdul Haris Nasution , lolos. [7] Tubuh mereka, bersama dengan target lain yang ditangkap oleh G30S, dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya , Jakarta. [8] Paginya, angkatan bersenjata menduduki
Lapangan Merdeka di Jakarta Pusat . Dari Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) di sana, Letnan Kolonel Untung Syamsuri dari Resimen Pengawal Presiden mengumumkan bahwa gerakan itu telah mengamankan beberapa tempat penting di kota dalam upaya untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal. Mereka juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno berada di bawah kekuasaan mereka. [9] Inti kepemimpinan gerakan ini, kemudian juga termasuk Presiden Soekarno, tinggal di pangkalan AURI di Bandara Halim Perdanakusuma.[10]
Mayor Jenderal Soeharto, menyadari gerakan ini pada pagi hari 1 Oktober. Menjelang sore ia telah meyakinkan sebuah batalyon G30S di Lapangan Merdeka dan yang menduduki gedung RRI untuk menyerah, tanpa pertumpahan darah. Tentara loyalis di bawah Soeharto merebut kembali pangkalan AURI Halim pagi berikutnya. Pada saat itu pimpinan G30S telah melarikan diri, sementara Soekarno telah dibawa kembali ke istananya di Bogor .[11] Dalam tahun-tahun berikutnya, Angkatan Darat Indonesia dan masyarakat umum melakukan sebuah kampanye pembalasan berdarah , membunuh atau menangkap orang-orang yang terdaftar maupun hanya diduga sebagai simpatisan PKI - termasuk sebagian besar pimpinan G30S.
Indonesia berada dalam kekacauan. Rakyat hidup dalam kemiskinan, sementara yang kaya memamerkan kekayaan mereka. Presiden Soekarno (Umar Kayam ) sedang sakit dan hampir mati. Sementara itu, konsep politiknya,
Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) telah menyebabkan pertumbuhan besar anggota PKI. Partai yang mencoba melakukan kudeta pada tahun 1948 ini telah menyerang dan membunuh orang di seluruh negeri. Presiden yang telah melemah juga dimanipulasi oleh partai ini. PKI telah merekayasa cerita, berdasarkan
Dokumen Gilchrist yang palsu, bahwa Dewan Jenderal sedang mempersiapkan kudeta bila Soekarno mati. Aidit ( Syubah Asa), Syam , dan kepemimpinan Partai Komunis diam-diam berencana untuk menggunakan ini sebagai alasan untuk kudeta mereka sendiri. Pangkat dan barisan anggota Partai ini menerima penjelasan dari pimpinan, dan dengan bantuan para prajurit dan perwira yang "berpikiran-maju" (sebagian besar dari
Angkatan Udara), bekerja untuk mengumpulkan kekuatan Partai. Mereka berencana untuk menculik tujuh jenderal (yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal), merebut kota, dan mengamankan Soekarno. G30S yang baru diberi nama kemudian memulai pelatihan. Para anggota sayap kanan dalam Angkatan Darat yang tidak menyadari kudeta yang akan terjadi ini, hidup bahagia dengan keluarga mereka. Pada saat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, mereka sudah terlambat.
Pada malam 30 September-1 Oktober, tujuh unit dikirim untuk menculik para jenderal yang terkait dengan Dewan Jenderal tersebut. Nasution berhasil melarikan diri melompati tembok, sementara atase militer Pierre Tendean datang berlari keluar, memegang pistol; Tendean dengan cepat ditangkap, dan ketika ditanya di mana Nasution, mengaku dirinya adalah jenderal tersebut. Yani, yang melawan, tewas di rumahnya; Mayor Jenderal MT Haryono mendapat nasib yang sama. Kepala Jaksa Militer Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen
Siswondo Parman, dan Letnan Jenderal
Soeprapto ditangkap. Brigadir Jenderal
DI Pandjaitan ikut dengan rela, tetapi ketika dia berdoa terlalu lama sebelum memasuki truk dia dibunuh. Mayat dan tahanan yang dibawa ke kamp G30S/PKI di Lubang Buaya, di mana para korban yang tersisa disiksa dan dibunuh. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke dalam sumur. Pagi berikutnya, anak buah Letnan Kolonel Untung mengambil alih kantor RRI dan memaksa staf di sana untuk membaca pidato Untung ( Bram Adrianto ) yang menyatakan bahwa G30S telah bergerak untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal dan mengumumkan pembentukan " Dewan Revolusi ". Anak buah G30S/PKI lain pergi ke istana untuk mengamankan presiden tetapi menemukan bahwa ia telah pergi meninggalkan istana. Di pangkalan Halim, Presiden berbicara dengan para pemimpin G30S dan menyatakan bahwa ia akan mengambil kontrol penuh dari Angkatan Darat. Pidato radio lain kemudian segera dibacakan, menguraikan komposisi Dewan Revolusi yang baru dan mengumumkan perubahan hierarki Angkatan Darat. Para pemimpin G30S mulai merencanakan pelarian mereka dari Halim, yang harus dilakukan sebelum tengah malam.
Soeharto ( Amoroso Katamsi ), yang dibangunkan pagi buta, membantah pengumuman Untung, menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada Dewan Jenderal dan membuat catatan-catatan tambahan tentang hakikat G30S. Karena ada kekosongan kekuasaan dengan meninggalnya Yani, Soeharto mengambil kendali sementara Angkatan Darat dan mulai merencanakan serangan-balik dengan anak buahnya; namun bagaimanapun dia tidak mau memaksakan pertempuran. Dia malah menyatakan bahwa ia akan memberikan pengumuman lewat radio, yang disampaikan setelah pasukan yang setia kepadanya merebut kantor RRI. Pengumuman ini menguraikan situasi kala itu, menggambarkan G30S sebagai kontra-revolusioner , dan menyatakan bahwa Angkatan Darat akan berurusan dengan kudeta ini. Tak lama kemudian para pemimpin kudeta melarikan diri dari Halim, dan pasukan Soeharto merebut kembali pangkalan udara tersebut. Beberapa waktu kemudian, pasukan di bawah kepemimpinan Soeharto menyerang sebuah markas G30S/PKI. Sementara tentara yang berafiliasi dengan PKI melawan, pimpinan Partai lolos dan melarikan diri, berencana untuk melanjutkan perjuangan mereka di bawah tanah.
Soeharto kemudian segera dipanggil ke istana kedua di Bogor untuk berbicara dengan Soekarno. Di sana, presiden mengatakan bahwa ia telah menerima jaminan dari Marsekal Udara Omar Dani bahwa Angkatan Udara tidak terlibat dalam kudeta ini. Soeharto membantah pernyataan tersebut, mencatat bahwa persenjataan gerakan ini adalah seperti orang-orang dari Angkatan Udara. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan konfirmasi pengangkatan Soeharto sebagai pemimpin Angkatan Darat, bekerja sama dengan Pranoto Reksosamodra . Dalam investigasi mereka terhadap peristiwa kudeta ini, Angkatan Darat menemukan kamp di Lubang Buaya - termasuk tubuh para jenderal, yang dikeluarkan sembari Soeharto menyampaikan pidato menggambarkan kudeta ini dan peran PKI di dalamnya. Jenazah para jenderal kemudian dimakamkan di tempat lain dan Soeharto memberikan pidato hagiografi, di mana ia mengutuk G30S PKI dan dan mendesak masyarakat Indonesia untuk melanjutkan perjuangan jenderal-jenderal yang telah meninggal tersebut.
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI disutradarai oleh Arifin C. Noer , sutradara pemenang Piala Citra dengan latar belakang teater. Dia memiliki pengalaman sebelumnya dalam genre ini, setelah membuat film perang Serangan Fajar (1981), yang menekankan peran Soeharto dalam Revolusi Nasional Indonesia .[13] Noer ditugaskan untuk mengerjakan film ini oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) milik negara, yang mempunyai kontrol atas proses produksi film ini. Profesor budaya Indonesia Krishna Sen dan David T. Hill berpendapat bahwa masukan kreatif Noer sangat minim dalam film ini. Sebaliknya, "untuk segala maksud dan tujuan", film ini adalah karya produsernya, Brigadir Jenderal Gufran Dwipayana, yang kala itu menjabat sebagai kepala PPFN sekaligus anggota staf kepresidenan.[14] Namun, istri Noer, Jajang C. Noer bersikeras bahwa suaminya tetap bersikap independen saat pembuatan film ini.
Skenario Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh yang berjudul
Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia . Buku yang dimaksudkan untuk melawan teori asing tentang kudeta tersebut, menjelaskan secara rinci Gerakan September 30 ini sebagaimana pemerintah melihatnya.[16] Hanya Notosusanto, yang berpangkat lebih tinggi dari dua penulis tersebut, dihargai untuk kontribusinya.[17] Dalam mengadaptasi buku tersebut, Noer membaca banyak literatur yang tersedia (termasuk dokumen pengadilan) dan mewawancarai sejumlah saksi mata;[18] Jajang, dalam sebuah wawancara tahun 1998, mengatakan bahwa suaminya tidak hanya membaca versi resmi pemerintah, tetapi juga dokumen Cornell Paper yang kontroversial, yang menggambarkan bahwa peristiwa kudeta ini sepenuhnya merupakan urusan intern Angkatan Darat. [15] Selama syuting, kru menekankan realisme, "memberikan perhatian besar terhadap detail" dan menggunakan rumah sebenarnya dari para jenderal yang diculik dalam peristiwa tersebut. [19]
Karena besarnya jumlah peran - termasuk beberapa bagian 100 peran kecil dan lebih dari 10.000 pemeran tambahan [20] - casting atau pencarian pemeran untuk Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sulit. [21] Noer mencoba untuk menempatkan aktor yang mirip dengan tokoh-tokoh sejarah yang digambarkan;
Rano Karno kemudian mengingat bahwa ia ditolak untuk peran Pierre Tendean karena Tendean tidak memiliki tahi lalat di wajahnya. [22] Pada akhirnya film ini dibintangi Bram Adrianto sebagai Untung Sjamsuri, Amoroso Katamsi sebagai
Soeharto, Umar Kayam sebagai Soekarno , dan Syubah Asa sebagai DN Aidit; aktor lainnya antara lain Ade Irawan , Sofia WD , Dani Marsuni, dan Charlie Sahetapy .[23] Kayam, kala itu seorang dosen di Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta, tidak punya waktu untuk meriset perilaku Soekarno dari buku-buku dan pidatonya; sebagai gantinya, ia menggambarkan presiden tersebut berdasarkan testimonial dari staf di Istana Bogor. Katamsi, di sisi lain, mempelajari peran Soeharto dari buku, dan pada saat syuting telah dimulai, merasa seolah-olah dia "sebagai Pak Harto, bukan imitasi Pak Harto." [24] Sementara itu, Syubah Asa menganggap kurang menguasai penampilannya sendiri. [24]
Produksi Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, awalnya berjudul Sejarah Orde Baru, memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.[15] Biaya film ini Rp. 800 juta, [d][25] mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu. [3] Sinematografi film ini ditangani oleh Hasan Basri , dengan penataan musik oleh saudara Arifin, Embie C. Noer. Penyuntingan film dilakukan oleh Supandi. [26] Bagian dari film, khususnya sepuluh menit akhir, menggunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut.
Baca lebih lengkap di: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Penumpasan_Pengkhianatan_G_30_S_PKI
[a] adalah judul film dokudrama
propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer , diproduseri oleh G. Dwipayana , dan dibintangi Amoroso Katamsi , Umar Kayam , dan Syubah Asa. Diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp. 800 juta kala itu, film ini disponsori oleh pemerintahan Orde Baru
Soeharto. Film ini dibuat berdasarkan pada versi resmi menurut pemerintah kala itu dari peristiwa " Gerakan 30 September " atau "G30S" (peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan
Ismail Saleh, yang menggambarkan peristiwa kudeta ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara, konon untuk memulai kudeta terhadap Presiden Soekarno. Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang menghancurkan gerakan kudeta tersebut, setelah itu mendesak rakyat Indonesia untuk memperingati mereka yang tewas dan melawan segala bentuk
komunisme. Film ini juga menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno ke
Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam yang telah merencanakan "setiap langkah dengan terperinci", [1] menggambarkan sukacita dalam penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal, penggambaran yang telah dianggap menggambarkan bahwa "musuh negara adalah bukanlah manusia". [2]
Film ini adalah film dalam negeri pertama yang dirilis secara komersial dan menampilkan peristiwa 1965 tersebut.[3]
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersial maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk tujuh penghargaan di Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu, dan mencapai angka rekor penonton - meskipun dalam banyak kasus penonton diminta untuk melihat film ini, alih-alih secara sukarela.
Film ini terus digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana pemerintahan Soeharto kala itu memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu, TVRI , untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam. Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan berlebihan. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini kemudian dihapuskan sejak jatuhnya Soeharto tahun 1998. Sejak itu film ini telah menjadi kurang diminati lagi dan belum pernah lagi diputar di stasiun televisi Indonesia. Meskipun aspek artistik film ini tetap diterima dengan baik, kekeliruan sejarahnya telah menuai banyak kritik.
Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dibuat berdasarkan pada versi peristiwa kudeta yang diakui oleh pemerintah Orde Baru Soeharto, di mana kudeta Gerakan 30 September didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.[b][4] Pada awal 1960-an, PKI dan partai-partai sayap kiri lainnya mendapat dukungan dari Presiden
Soekarno , memberi mereka kekuatan politik yang besar. Pada tahun 1965 PKI telah mempunyai jutaan anggota, jumlah semakin besar ini dipengaruhi oleh adanya hiperinflasi dan kemiskinan yang meluas.[5] TNI Angkatan Darat , bagaimanapun, telah saling tidak sejalan dengan PKI, sebuah situasi yang berbalas dengan PKI.
Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965 sekelompok personel Tentara Nasional Indonesia yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September" menangkap dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat yang diduga anggota gerakan anti-revolusioner "Dewan Jenderal", termasuk Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani ; target lain, Abdul Haris Nasution , lolos. [7] Tubuh mereka, bersama dengan target lain yang ditangkap oleh G30S, dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya , Jakarta. [8] Paginya, angkatan bersenjata menduduki
Lapangan Merdeka di Jakarta Pusat . Dari Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) di sana, Letnan Kolonel Untung Syamsuri dari Resimen Pengawal Presiden mengumumkan bahwa gerakan itu telah mengamankan beberapa tempat penting di kota dalam upaya untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal. Mereka juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno berada di bawah kekuasaan mereka. [9] Inti kepemimpinan gerakan ini, kemudian juga termasuk Presiden Soekarno, tinggal di pangkalan AURI di Bandara Halim Perdanakusuma.[10]
Mayor Jenderal Soeharto, menyadari gerakan ini pada pagi hari 1 Oktober. Menjelang sore ia telah meyakinkan sebuah batalyon G30S di Lapangan Merdeka dan yang menduduki gedung RRI untuk menyerah, tanpa pertumpahan darah. Tentara loyalis di bawah Soeharto merebut kembali pangkalan AURI Halim pagi berikutnya. Pada saat itu pimpinan G30S telah melarikan diri, sementara Soekarno telah dibawa kembali ke istananya di Bogor .[11] Dalam tahun-tahun berikutnya, Angkatan Darat Indonesia dan masyarakat umum melakukan sebuah kampanye pembalasan berdarah , membunuh atau menangkap orang-orang yang terdaftar maupun hanya diduga sebagai simpatisan PKI - termasuk sebagian besar pimpinan G30S.
Indonesia berada dalam kekacauan. Rakyat hidup dalam kemiskinan, sementara yang kaya memamerkan kekayaan mereka. Presiden Soekarno (Umar Kayam ) sedang sakit dan hampir mati. Sementara itu, konsep politiknya,
Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) telah menyebabkan pertumbuhan besar anggota PKI. Partai yang mencoba melakukan kudeta pada tahun 1948 ini telah menyerang dan membunuh orang di seluruh negeri. Presiden yang telah melemah juga dimanipulasi oleh partai ini. PKI telah merekayasa cerita, berdasarkan
Dokumen Gilchrist yang palsu, bahwa Dewan Jenderal sedang mempersiapkan kudeta bila Soekarno mati. Aidit ( Syubah Asa), Syam , dan kepemimpinan Partai Komunis diam-diam berencana untuk menggunakan ini sebagai alasan untuk kudeta mereka sendiri. Pangkat dan barisan anggota Partai ini menerima penjelasan dari pimpinan, dan dengan bantuan para prajurit dan perwira yang "berpikiran-maju" (sebagian besar dari
Angkatan Udara), bekerja untuk mengumpulkan kekuatan Partai. Mereka berencana untuk menculik tujuh jenderal (yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal), merebut kota, dan mengamankan Soekarno. G30S yang baru diberi nama kemudian memulai pelatihan. Para anggota sayap kanan dalam Angkatan Darat yang tidak menyadari kudeta yang akan terjadi ini, hidup bahagia dengan keluarga mereka. Pada saat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, mereka sudah terlambat.
Pada malam 30 September-1 Oktober, tujuh unit dikirim untuk menculik para jenderal yang terkait dengan Dewan Jenderal tersebut. Nasution berhasil melarikan diri melompati tembok, sementara atase militer Pierre Tendean datang berlari keluar, memegang pistol; Tendean dengan cepat ditangkap, dan ketika ditanya di mana Nasution, mengaku dirinya adalah jenderal tersebut. Yani, yang melawan, tewas di rumahnya; Mayor Jenderal MT Haryono mendapat nasib yang sama. Kepala Jaksa Militer Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen
Siswondo Parman, dan Letnan Jenderal
Soeprapto ditangkap. Brigadir Jenderal
DI Pandjaitan ikut dengan rela, tetapi ketika dia berdoa terlalu lama sebelum memasuki truk dia dibunuh. Mayat dan tahanan yang dibawa ke kamp G30S/PKI di Lubang Buaya, di mana para korban yang tersisa disiksa dan dibunuh. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke dalam sumur. Pagi berikutnya, anak buah Letnan Kolonel Untung mengambil alih kantor RRI dan memaksa staf di sana untuk membaca pidato Untung ( Bram Adrianto ) yang menyatakan bahwa G30S telah bergerak untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal dan mengumumkan pembentukan " Dewan Revolusi ". Anak buah G30S/PKI lain pergi ke istana untuk mengamankan presiden tetapi menemukan bahwa ia telah pergi meninggalkan istana. Di pangkalan Halim, Presiden berbicara dengan para pemimpin G30S dan menyatakan bahwa ia akan mengambil kontrol penuh dari Angkatan Darat. Pidato radio lain kemudian segera dibacakan, menguraikan komposisi Dewan Revolusi yang baru dan mengumumkan perubahan hierarki Angkatan Darat. Para pemimpin G30S mulai merencanakan pelarian mereka dari Halim, yang harus dilakukan sebelum tengah malam.
Soeharto ( Amoroso Katamsi ), yang dibangunkan pagi buta, membantah pengumuman Untung, menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada Dewan Jenderal dan membuat catatan-catatan tambahan tentang hakikat G30S. Karena ada kekosongan kekuasaan dengan meninggalnya Yani, Soeharto mengambil kendali sementara Angkatan Darat dan mulai merencanakan serangan-balik dengan anak buahnya; namun bagaimanapun dia tidak mau memaksakan pertempuran. Dia malah menyatakan bahwa ia akan memberikan pengumuman lewat radio, yang disampaikan setelah pasukan yang setia kepadanya merebut kantor RRI. Pengumuman ini menguraikan situasi kala itu, menggambarkan G30S sebagai kontra-revolusioner , dan menyatakan bahwa Angkatan Darat akan berurusan dengan kudeta ini. Tak lama kemudian para pemimpin kudeta melarikan diri dari Halim, dan pasukan Soeharto merebut kembali pangkalan udara tersebut. Beberapa waktu kemudian, pasukan di bawah kepemimpinan Soeharto menyerang sebuah markas G30S/PKI. Sementara tentara yang berafiliasi dengan PKI melawan, pimpinan Partai lolos dan melarikan diri, berencana untuk melanjutkan perjuangan mereka di bawah tanah.
Soeharto kemudian segera dipanggil ke istana kedua di Bogor untuk berbicara dengan Soekarno. Di sana, presiden mengatakan bahwa ia telah menerima jaminan dari Marsekal Udara Omar Dani bahwa Angkatan Udara tidak terlibat dalam kudeta ini. Soeharto membantah pernyataan tersebut, mencatat bahwa persenjataan gerakan ini adalah seperti orang-orang dari Angkatan Udara. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan konfirmasi pengangkatan Soeharto sebagai pemimpin Angkatan Darat, bekerja sama dengan Pranoto Reksosamodra . Dalam investigasi mereka terhadap peristiwa kudeta ini, Angkatan Darat menemukan kamp di Lubang Buaya - termasuk tubuh para jenderal, yang dikeluarkan sembari Soeharto menyampaikan pidato menggambarkan kudeta ini dan peran PKI di dalamnya. Jenazah para jenderal kemudian dimakamkan di tempat lain dan Soeharto memberikan pidato hagiografi, di mana ia mengutuk G30S PKI dan dan mendesak masyarakat Indonesia untuk melanjutkan perjuangan jenderal-jenderal yang telah meninggal tersebut.
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI disutradarai oleh Arifin C. Noer , sutradara pemenang Piala Citra dengan latar belakang teater. Dia memiliki pengalaman sebelumnya dalam genre ini, setelah membuat film perang Serangan Fajar (1981), yang menekankan peran Soeharto dalam Revolusi Nasional Indonesia .[13] Noer ditugaskan untuk mengerjakan film ini oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) milik negara, yang mempunyai kontrol atas proses produksi film ini. Profesor budaya Indonesia Krishna Sen dan David T. Hill berpendapat bahwa masukan kreatif Noer sangat minim dalam film ini. Sebaliknya, "untuk segala maksud dan tujuan", film ini adalah karya produsernya, Brigadir Jenderal Gufran Dwipayana, yang kala itu menjabat sebagai kepala PPFN sekaligus anggota staf kepresidenan.[14] Namun, istri Noer, Jajang C. Noer bersikeras bahwa suaminya tetap bersikap independen saat pembuatan film ini.
Skenario Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh yang berjudul
Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia . Buku yang dimaksudkan untuk melawan teori asing tentang kudeta tersebut, menjelaskan secara rinci Gerakan September 30 ini sebagaimana pemerintah melihatnya.[16] Hanya Notosusanto, yang berpangkat lebih tinggi dari dua penulis tersebut, dihargai untuk kontribusinya.[17] Dalam mengadaptasi buku tersebut, Noer membaca banyak literatur yang tersedia (termasuk dokumen pengadilan) dan mewawancarai sejumlah saksi mata;[18] Jajang, dalam sebuah wawancara tahun 1998, mengatakan bahwa suaminya tidak hanya membaca versi resmi pemerintah, tetapi juga dokumen Cornell Paper yang kontroversial, yang menggambarkan bahwa peristiwa kudeta ini sepenuhnya merupakan urusan intern Angkatan Darat. [15] Selama syuting, kru menekankan realisme, "memberikan perhatian besar terhadap detail" dan menggunakan rumah sebenarnya dari para jenderal yang diculik dalam peristiwa tersebut. [19]
Karena besarnya jumlah peran - termasuk beberapa bagian 100 peran kecil dan lebih dari 10.000 pemeran tambahan [20] - casting atau pencarian pemeran untuk Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sulit. [21] Noer mencoba untuk menempatkan aktor yang mirip dengan tokoh-tokoh sejarah yang digambarkan;
Rano Karno kemudian mengingat bahwa ia ditolak untuk peran Pierre Tendean karena Tendean tidak memiliki tahi lalat di wajahnya. [22] Pada akhirnya film ini dibintangi Bram Adrianto sebagai Untung Sjamsuri, Amoroso Katamsi sebagai
Soeharto, Umar Kayam sebagai Soekarno , dan Syubah Asa sebagai DN Aidit; aktor lainnya antara lain Ade Irawan , Sofia WD , Dani Marsuni, dan Charlie Sahetapy .[23] Kayam, kala itu seorang dosen di Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta, tidak punya waktu untuk meriset perilaku Soekarno dari buku-buku dan pidatonya; sebagai gantinya, ia menggambarkan presiden tersebut berdasarkan testimonial dari staf di Istana Bogor. Katamsi, di sisi lain, mempelajari peran Soeharto dari buku, dan pada saat syuting telah dimulai, merasa seolah-olah dia "sebagai Pak Harto, bukan imitasi Pak Harto." [24] Sementara itu, Syubah Asa menganggap kurang menguasai penampilannya sendiri. [24]
Produksi Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, awalnya berjudul Sejarah Orde Baru, memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.[15] Biaya film ini Rp. 800 juta, [d][25] mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu. [3] Sinematografi film ini ditangani oleh Hasan Basri , dengan penataan musik oleh saudara Arifin, Embie C. Noer. Penyuntingan film dilakukan oleh Supandi. [26] Bagian dari film, khususnya sepuluh menit akhir, menggunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut.
Baca lebih lengkap di: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Penumpasan_Pengkhianatan_G_30_S_PKI
0 Response to "Begini Kisah Lengkap Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI""
Posting Komentar